Selasa, 28 April 2015

MAKALAH KEWARGANEGARAAN ANALISIS HUBUNGAN WARGA NEGARA DENGAN NEGARA TENTANG PENGGUSURAN RUMAH DI JAKARTA


ANALISIS HUBUNGAN

WARGA NEGARA DENGAN NEGARA

 

PENGGUSURAN RUMAH DI JAKARTA

 




 

Disusun Oleh:

Bela Kahar – F0A014026

 

D3 – BAHASA INGGRIS

TAHUN ANGKATAN 2014

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

 

LATAR BELAKANG MASALAH

Penggusuran rumah di Jakarta beberapa tahun belakangan sedang santer dilakukan oleh pemeintah provinsi DKI Jakarta sebagai wujud penertiban dan penataan kota DKI Jakarta. Sepanjang periode kepemimpinan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2007 – 2012, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat bahwa setiap bulan ada kurang lebih 3200 warga yang menjadi korban penggusuran paksa. Angka tersebut bisa jadi merupakan angka penggusuran paksa tertinggi sepanjang sejarah pemerintahan kota Jakarta. Penggusuran ini dilanjutkan kembali atau di programkan kembali dalam program kerja pemerintahan selanjutnya hingga sekarang.

Penggusuran di DKI Jakarta tidak hanya dilakukan pada rumah-rumah di lahan ilegal saja, tetapi juga mengacu kepada lahan-lahan yang tidak berizin yang digunakan sebagai pemukiman liar oleh warga miskin atau pendatang dari luar kota yang menggantungkan hidupnya di ibu kota Indonesia ini. Konsentrasi penggusuran atau penertiban lahan tak berizin diantaranya di bantaran sungai, normalisasi daerah sekitar waduk, lahan pemerintah atau BUMN, lahan sengketa, lapak jualan tak berizin, dan lahan strategis lainnya. Pemprov mengklaim penggusuran ini dilakukan untuk pembebasan lahan dalam upaya penataan kota dan menyerahkan hak milik pemilik lahan yang seharusnya.

Alasan saya mengangkat kasus penggusuran rumah di DKI Jakarta ini karena saya merasa kasus ini tidak akan basi dan menjadi pemberitaan utama disetiap tahunnya sepanjang pemerintah tidak menemukan solusi yang tepat dalam penyelesaian hal pelik ini. Saya juga ingin mencari dan memaparkan berbagai pandangan dan fakta ataupun pandangan hukum dalam kasus penggusuran rumah ini. Semoga materi ini menjadi pandangan atau acuan berbagai pihak untuk menyadari dan menemukan solusi kasus pelik tahunan ini.

RUMUSAN MASALAH

 

1.      Bagaimana kronologi banyaknya bangunan atau lahan liar untuk dijadikan tempat tinggal di Jakarta?

2.      Apa itu rumah?

3.      Bagaimana hak warga negara atas perumahan?

4.      Bagaimana kondisi pemenuhan hak atas rumah di Indonesia?

5.      Apa itu penggusuran paksa?

6.      Bagaimana tanggapan masyarakat mengenai penggusuran paksa?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PEMBAHASAN

 

A.               KRONOLOGI BANYAKNYA BANGUNAN LIAR DI JAKARTA

Dahulu, negara kita sempat terkena krisi komenter yang berdampak besar ke berbagai sektor diantaranya sektor ekonomi dan sosial yang menimbulkan chaos. Dengan adanya krisis, perekonomian masyarakat menjadi terguncang serta banyak dari mereka kehilangan tempat tinggal dan usahanya entah itu karena bangkrut atau terkena dampak kerusuhan tragedi di tahun 1998. Setelah peristiwa tersebut terlewati, banyak lahan kosong atau tidak jelas yang ditinggalkan pemiliknya. Disisi lain, pemprov DKI Jakarta prihatin dengan kondisi masyarakat yang terlantar dan tidak mempunyai tempat tinggal. Oleh karena itu pemprov mengeluarkan kebijakan untuk memperbolehkan masyarakat mengisi lahan yang kosong untuk dijadikan tempat bermukim dan mencari nafkah mereka. Awalnya niat baik ini tidak masalah sampai akhirnya melihat fakta bahwa justru masyarakat yang mengisi lahan kosong itu tidak mengindahkan lingkungan. Selain itu, setiap tahunnya pembludakan penduduk yang datang dari luar Jakarta sangat signifikan dan bahkan angka tersebut terus meningkat. Para pengadu nasib itu ada yang memiliki keahlian, tapi banyak juga yang hanya mengandalkan keberuntungan saja bahkan cenderung nekat. Akibatnya, mereka mencari tempat tinggal dan matapencaharian yang sembarangan supaya bisa tetap hidup disana.

 

B.               MEMAKNAI RUMAH

Rumah merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam hidup manusia. Pada rumah melekat dimensi budaya dan sosial sehingga makna rumah tidak dapat diartikan secara sempit dengan tempat berlindung yang memiliki atap di atas kepala. Sebagian masyarakat di Indonesia menganggap rumah seperti manusia yang juga harus dihargai dan dihormati. Rumah juga dianggap sebagai tempat yang sakral dan suci sehingga harus selalu dirawat dengan baik agar terhindar dari malapetaka. Bung Hatta pernah menulis, “Di zaman dahulu kala, sebelum orang putih datang kemari, bangun-bangun rumah desa memang sederhana, tapi terpelihara. Adat hidup yang dipakai orang Indonesia serta sifat tolong-menolong yang menjadi dasar segala usaha yang berat, melarang orang mengabaikan rumahnya. Kalau ia hendak mendirikan rumah, ia dapat minta tolong kepada orang banyak yang sekampung atau sedesa. Paham tradisi, yaitu ikatan kebiasaan, tidak membiarkan orang teledor terhadap pemeliharaan rumahnya. Tanda kehormatan manusia dilekatkan pada sopan santun bergaul, kepada pakaian dan kepada rumah.”

 

C.               HAK ATAS PERUMAHAN

 

1. Peraturan Perundang-Undangan dan Instrumen HAM yang Mengatur Hak Atas Perumahan

 Berbagai peraturan dan instrument hukum menjamin hak atas perumahan seperti:

• Undang-Undang Dasar 1945

 Pasal 28H ayat (1), “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

• UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

 Pasal 5 ayat (1): “Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah”.

Pasal 19:

 (1) Penyelenggaraan rumah dan perumahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

 (2) Penyelenggaraan rumah dan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau setiap orang untuk menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.

 

Pasal 129: Dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, setiap orang berhak:

 a. Menempati, menikmati, dan/atau memiliki/memperoleh rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur;

 b. Melakukan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman;

 c. Memperoleh informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;

 d. Memperoleh manfaat dari penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;

 e. Memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; dan

 f. Mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan terhadap penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang merugikan masyarakat.

 

• UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM

 Pasal 40: “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”.

 

• UU No. 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya (Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya)

 Pasal 11 ayat (1): Negara mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak bagi keluarganya, termasuk cukup pangan, sandang dan papan yang layak, dan atas perbaikan kondisi yang berkelanjutan.

 

• Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia

 Pasal 25 ayat (1): “Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya.”

 

• Konvensi Tentang Penghapusan Segala Jenis Diskriminasi Terhadap Perempuan

 Pasal 14 ayat (2) huruf g dan h:

 Negara-negara Pihak wajib untuk melakukan upaya-upaya yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan di pedesaan dalam rangka memberi kepastian, berdasarkan persamaan antara laki-laki dan perempuan, bahwa mereka turut berpartisipasi dan mendapat keuntungan dari pembangunan desa dan terutama harus memberi kepastian bagi perempuan tersebut diantaranya hak:

- Untuk memperoleh akses atas pinjaman atau kredit pertanian, fasilitas pemasaran, teknologi yang tepat dan perlakuan yang sama dalam masalah pertanahan pertanian, demikian pula perumahan.

 - Untuk menikmati keadaan kehidupan yang layak, terutama yang berhubungan dengan perumahan, sanitasi, pengadaan listrik dan air, angkutan dan komunikasi.

 

Ketentuan Lain:

• General Comment No. 4 tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak (Pasal 11 ayat (1)) Pasal 1 menegaskan bahwa “hak asasi atas tempat tinggal yang layak, yang bersumber dari hak atas kehidupan yang layak, adalah yang utama terpenting untuk penikmatan hak-hak ekonomi, social, dan budaya”.

• General comment No. 7 (1997) tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak: Pengusiran Paksa: Pasal 16 menegaskan “Pengusiran tidak boleh menjadikan individu-individu tidak berumah atau rawan terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia lainnya. Dimana orang-orang terimbas tidak mampu menyediakan berbagai kebutuhan mereka sendiri, negara harus menyediakan segala ukuran yang tepat, untuk memaksimalkan sumber daya tersedia, untuk memastikan bahwa perumahan, pemukiman, atau akses alternatif atas tanah yang produktif, tergatung kasusnya, tersedia.”

 

2. Makna Hak Atas Perumahan

 Setelah melihat berbagai instrument di atas, maka kita dapat memaknai bahwa hak atas perumahan hak yang melekat pada diri setiap orang untuk mendapatkan rumah/tempat tinggal dan hidup di suatu tempat dengan aman, damai dan bermartabat. Hak atas perumahan merupakan hak yang utama dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya. Hal tersebut dikarenakan didalam hak atas perumahan tersebut juga menyangkut hak-hak lainnya, seperti hak untuk hidup, hak untuk hidup tentram, aman, damai, bahagia dan sejahtera, hak atas lingkungan hidup yang baik, hak atas identitas yang berkaitan dengan hak atas pelayanan kesehatan dan juga hak atas jaminan sosial serta hak-hak lainnya. Jika hak atas perumahan dilanggar, maka ada banyak hak lain juga yang terancam dilanggar.

 

3. Tanggung Jawab Negara

 Negara memiliki empat kewajiban penting terkait dengan hak atas tempat tinggal:

·         Tugas non-diskriminasi berarti memperlakukan setiap orang setara di hadapan hukum dan di dalam praktek. Hukum dan kebijakan pemerintah tidak boleh membeda-bedakan seseorang dengan orang yang lain atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, umur, bahasa, agama, pendapat politik, dan lain-lain, suku bangsa atau daerah, kekayaan, kelahiran, cacat fisik atau mental, kondisi kesehatan (termasuk infeksi HIV/AIDS), orientasi seksual, atau status kependudukan, politik, sosial atau yang lainnya.

 

·         Tugas untuk menghormati artinya menahan diri untuk menganggu akses masyarakat yang sudah ada terhadap tempat tinggal. Satu cara yang jelas dalam menghormati hak atas tempat tinggal adalah tidak melakukan pengusiran paksa.

 

·         Tugas untuk melindungi artinya pemerintah harus melindungi orang-orang dari pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang lainnya, seperti perusahaan dan tuan tanah. Contohnya, membiarkan perusahaan mencemari sumber air bersih yang digunakan untuk minum adalah pelanggaran hak atas tempat tinggal dan hak atas air. Pemerintah juga harus melindungi maryarakat dari pengusiran paksa.

 

·         Tugas untuk memenuhi artinya mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa setiap orang akan mewujudkan hak mereka atas tempat tinggal yang memadai secara bertahap. Langkah pertama harus termasuk menysusun rencana tindakan secara nasional dan lokal dengan keterlibatan penuh dari penduduk setempat, termasuk wanita dan mereka yang tinggal di pemukiman liar. Dalam jangka waktu yang cukup, harus ada kemajuan terukur dalam meningkatkan akses terhadap tempat tinggal.

 

4. Rumah Layak

 

Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB mengeluarkan General Comment No. 4 (1997) tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak. Dalam General Comment tersebut dikatakan bahwa rumah atau tempat tinggal yang layak haruslah mengandung tujuh unsur sebagai berikut:

 

ü  Jaminan perlindungan hukum

 Perlindungan hukum mengambil banyak bentuk, diantaranya penyewaan akomodasi (publik dan swasta), perumahan kolektif, kredit, perumahan darurat, pemukiman informal, termasuk penguasaan tanah dan properti. Meskipun ada beragam jenis perlindungan hukum, setiap orang harus memiliki tingkat perlindungan hukum yang menjamin perlindungan hukum dari pengusiran paksa, pelecehan, dan ancaman lainnya. Negara harus bertanggung jawab, segera mengambil tindakan-tindakan yang bertujuan memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap orang-orang tersebut dan rumah tangga yang saat ini belum memiliki perlindungan, melalui konsultasi secara benar dengan orang-orang atau kelompok yang terkena.

ü  Ketersediaan layanan, bahan-bahan baku, fasilitas, dan infrastruktur

 Rumah yang layak harus memiliki fasilitas tertentu yang penting bagi kesehatan, keamanan, kenyamanan, dan nutrisi. Semua penerima manfaat dari hak atas tempat tinggal yang layak harus memiliki akses yang berkelanjutan terhadap sumber daya alam dan publik, air minum yang aman, energi untuk memasak, suhu dan cahaya, alat-alat untuk menyimpan makanan, pembuangan sampah, saluran air, layanan darurat.

ü  Keterjangkauan

            Biaya yang dikeluarkan seseorang / rumah tangga untuk kebutuhan perumahan hendaknya berada pada tingkat yang tidak mengancam dan selaras dengan pencapaian dan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya. Tindakan harus diambil oleh Negara Pihak untuk memastikan bahwa persentasi biaya yang berhubungan dengan tempat tinggal, secara umum sepadan dengan tingkat pendapatan. Negara Pihak harus menyediakan subsidi untuk tempat tinggal bagi mereka yang tidak mampu memiliki tempat tinggal, dalam bentuk dan tingkat kredit perumahan yang secara layak mencerminkan kebutuhan tempat tinggal. Dalam kaitannya dengan prinsip keterjangkauan, penghuni harus dilindungi dengan perlengkapan yang layak ketika berhadapan dengan tingkat sewa yang tidak masuk akal atau kenaikan uang sewa. Di masyarakat, dimana bahan-bahan baku alam merupakan sumber daya utama bahan baku pembuatan rumah, Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan ketersediaan bahan baku tersebut.

 

ü  Layak huni

 Tempat tinggal yang memadai haruslah layak dihuni, artinya dapat menyediakan ruang yang cukup bagi penghuninya dan dapat melindungi mereka dari cuaca dingin, lembab, panas, hujan, angin, atau ancaman-ancaman bagi kesehatan, bahaya fisik bangunan, dan faktor penyakit. Keamanan fisik penghuni harus pula terjamin. Komite mendorong Negara Pihak untuk secara menyeluruh menerapkan Prinsip Rumah Sehat yang disusun oleh WHO yang menggolongkan tempat tinggal sebagai faktor lingkungan yang paling sering dikaitkan dengan kondisi-kondisi penyebab penyakit berdasarkan berbagai analisis epidemiologi; yaitu, tempat tinggal dan kondisi kehidupan yang tidak layak dan kurang sempurna selalu berkaitan dengan tingginya tingkat kematian dan ketidaksehatan.

 

ü  Aksesibilitas

 Tempat tinggal yang layak harus dapat diakses oleh semua orang yang berhak atasnya. Kelompok-kelompok yang kurang beruntung seperti halnya manula, anak-anak, penderita cacat fisik, penderita sakit stadium akhir, penderita HIV-positif, penderita sakit menahun, penderita cacat mental, korban bencana alam, penghuni kawasan rawan bencana, dan lain-lain harus diyakinkan mengenai standar prioritas untuk lingkungan tempat tinggal mereka.

 

ü  Lokasi

            Tempat tinggal yang layak harus berada di lokasi yang terbuka terhadap akses pekerjaan, pelayanan kesehatan, sekolah, pusat kesehatan anak, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya. Di samping itu, rumah hendaknya tidak didirikan di lokasi-lokasi yang telah atau atau akan segera terpolusi, yang mengancam hak untuk hidup sehat para penghuninya.

 

ü  Kelayakan budaya

 Cara rumah didirikan, bahan baku bangunan yang digunakan, dan kebijakan-kebijakan yang mendukung kedua unsur tersebut harus memungkinkan pernyataan identitas budaya dan keragaman tempat tinggal. Berbagai aktivitas yang ditujukan bagi peningkatan dan modernisasi dalam lingkungan tempat tinggal harus dapat memastikan bahwa dimensi-dimensi budaya dari tempat tinggal tidak dikorbankan, dan bahwa, diantaranya, fasilitas-fasilitas berteknologi modern, juga telah dilengkapkan dengan semestinya.

 

 

ü  Hak Atas Kota

            Dalam hal kolektif dimana terdapat penggusuran paksa dan penyingkiran masyarakat marjinal, maka berbicara berbicara hak atas perumahan tidak dapat dilepaskan juga dari hak atas kota. Hak atas kota merupakan salah satu bentuk hak kolektif yang melampaui hak-hak individu yang tercantum dalam Hak Asasi Manusia. David Harvey mengatakan bahwa Hak Atas kota ini jauh lebih luas daripada kebebasan individu untuk mengakses sumber daya perkotaan, hak atas kota adalah hak kolektif untuk mengubah diri kita sendiri dengan mengubah kota. Kota seperti apa yang kita inginkan, apa jenis hubungan sosial yang kita cari, apa hubungan dengan alam yang kita hargai, apa gaya hidup yang kita inginkan, apa jenis teknologi yang dianggap sesuai, apa estetika nilai-nilai yang dipegang.

 

D.               KONDISI PEMENUHAN HAK ATAS PERUMAHAN DI INDONESIA

Dalam prakteknya, pemenuhan hak atas perumahan masih jauh dari yang diharapkan karena berbagai kendala yang dihadapinya. Dalam perkembangan sepuluh tahun terakhir, dari penambahan sekitar 12 juta unit rumah (1,2 juta unit pertahun), pemerintah hanya mampu membangun (menyediakan) sekitar 200.000 unit saja, baik yang dibangun oleh Perumnas maupun untuk keperluan rumah dinas pegawai pemerintah. Selebihnya swasta membangun 2 juta unit dan masyarakat sendiri 9,8 juta unit. Artinya dalam satu dekade berjalan pemerintah hanya mampu menyediakan rumah untuk rakyat sekitar 1 persen, serta memfasilitasi lewat pengembang swasta 14 persen dan masyarakat membangun sendiri 85 persen.

            Data di atas mengenai masyakarat membangun sendiri 85% perumahan janganlah dianggap sebagai pembangunan perumahan yang layak, 85% tersebut termasuk rumah-rumah yang sangat sederhana dan juga gubuk-gubuk yang dibuat oleh masyarakat miskin kota yang tidak sanggup untuk membuat rumah yang layak karena penghasilan yang rendah (rata-rata kurang dari 1juta perbulannya).

E. PENGGUSURAN PAKSA

1. Pengertian Penggusuran Paksa

 Kita dapat mendefenisikan penggusuran paksa sebagai tindakan yang memindahkan atau mengusir seseorang atau sekelompok dari tempat tinggal atau lahannya yang bertentangan dengan keinginan mereka sendiri dan tanpa memberikan perlindungan yang sesuai.

 2. Penyebab Penggusuran Paksa

 Adapun konflik perumahan ataupun penggusuran disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:

Ø  Konsentrasi penguasaan asset berupa tanah atau rumah oleh pemilik modal/penguasa atau pemberian hak kepada segelintir orang

 Kita dapat melihat bahwa di satu sisi terdapat banyak orang yang memiliki tanah yang luas dan rumah yang tidak hanya dijadikan sebagai tempat tinggal, namun juga dijadikan instrument investasi. Pembangunan perumahan justru dikuasai oleh taipan-taipan property yang menyediakan perumahan untuk menengah ke atas. Perumnas tidak bisa memenuhi kebutuhan atas perumahan bagi masyarakat miskin. Akhirnya di sisi lain lebih dari 13 juta orang tidak memiliki rumah di Indonesia.

Ø  Penataan ruang, seperti perubahan/alih fungsi ruang

            Adanya politik ruang yang akhirnya menyingkirkan masyarakat, terutama masyarakat rentan atau miskin. Ruang kota lebih diutamakan untuk pembangunan jalan TOL, ruang terbuka hijau, daerah industry, pusat perbelanjaan, maupun perumahan elit. Masyarakat yang tidak mampu akan tinggal di daerah kumuh, daerah terlarang, ataupun tinggal di pinggiran kota yang jauh dari tempat bekerja dan membutuhkan waktu lama untuk perjalanan.

Ø  Ketertiban dan keindahan

 Dengan alasan ketertiban dan keindahan, banyak terjadi penggusuran paksa yang dilegalisasi oleh berbegai peraturan perundang-undangan. Misalnya saja Perda No. 8 Tahun 2007 yang merupakan revisi dari Perda 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di DKI Jakarta. Banyak warga miskin yang terpaksa membangun rumah di lahan terlantar, lahan hijau, bantaran kali, kolong jembatan, kolong tol, dan tempat yang dilarang lainnya karena tidak dipenuhi hak atas perumahannya oleh pemerintah. Berdasarkan Perda No. 8 Tahun 2007 tersebut, mereka diancam dengan pidana penjara minimal 30 hari maksimal 180 hari karena menyalahgunakan fungsi jalur hijau, taman dan tempat-tepat umum (Pasal 12 ayat d) atau dilarang membangun dan bertempat tinggal di bawah jalan layang, di bawah tol, jalur hijau, taman dan tempat umum (pasal 20 d).

Ø  Penggunaan untuk kepentingan umum

 Penggunaan tanah untuk kepentingan umum sering menjadi alasan pemerintah untuk menggusur warga. Namun seringkali hal tersebut hanyalah sebagai strategi untuk melanggengkan kepentingan yang lain. Misalnya penggusuran warga Rawa Sari dengan alasan untuk membangun ruang terbuka hijau, saat ini justru lahan tersebut dijadikan apartemen. Contoh lain penggusuran warga Taman BMW dengan alasan ruang terbuka hijau pada tahun 2008, hingga saat ini belum ada pembangunan apapun di lahan tersebut dan justru direncanakan untuk membangun stadion berkelas internasional.

 Saat ini pemerintah dan DPR telah membuat Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Lahan untuk Kepentingan Umum dan Pembangunan. Undang-undang tersebut mempercepat pengadaan lahan dan juga mempercepat penggusuran terkait kepentingan umum.

Ø  Penelantaran Tanah

Badan Pertanahan Nasional mencatat terdapat 7 juta hektar lahan yang diterlantarkan di Indonesia. Luas tersebut belum termasuk lahan-lahan terlantar yang dimiliki oleh pribadi-pribadi dalam jumlah kurang dari 5 hektar. Akhirnya lahan untuk dijadikan perumahan semakin mahal karena jumlahnya berkurang. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, namun tidak dilaksanakan dengan tegas. Melihat banyaknya tanah yang diterlantarkan tentunya wajar jika banyak masyarakat kemudian menduduki lahan untuk dibangun rumah yang merupakan kebutuhan asasinya.

Ø  Pemerintah Tidak Konsisten Menjalankan Undang-Undang Pokok Agraria

Ketidakkonsistenan terlihat dalam beberapa contoh seperti adanya ketentuan Pasal 15 UUPA yang berbunyi: “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.” Pada Pasal 52 UUPA tersebut dikatakan “Barangsiapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 15 dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,-“ Seharusnya jika ketentuan tersebut dilaksanakan, maka penelantaran tanah bisa dikenakan pidana.

 Selain itu Berdasarkan Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang menegaskan bahwa “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Maka tanah seharusnya diperuntukkan bagi kepentingan sosial atau kepentingan masyarakat banyak. Lebih-lebih Penjelasan Pasal tersebut bahwa “Tidak hanya hak milik tetapi semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Ini berarti bahwa tidak hanya kepemilikan yang diprioritaskan untuk masyarakat tetapi fungsi tanah tersebut juga diprioritaskan untuk masyarakat. Selanjutnya, huruf II angka (4) Penjelasan UU Pokok Agraria menjelaskan:

“Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara. Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya bahwa tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badanhukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu (pasal 15). Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan fihak yang ekonomis lemah.”

3. Akibat Penggusuran Paksa

Penggusuran paksa memiliki akibat yang sangat luas seperti menyebabkan orang menjadi tunawisma, hilangnya rasa aman, terisolasi dari komunitas dan keluarga, hilangnya hak untuk jaminan sosial, hilangnya hak atas identitas, hilangnya hak untuk akses kesehatan, hilangnya hak anak untuk mengenyam pendidikan karena mahalnya biaya pindah rumah, kerugian ekonomi, meteri dan juga kerugian psikologis berupa trauma yang sangat mendalam. Bahkan, dalam beberapa kasus menyebabkan hilangnya nyawa orang.

 

4. Penggusuran Paksa Adalah Pelanggaran HAM Berat

Komunitas internasional telah lama mengakui bahwa pengusiran-paksa adalah persoalan yang serius. Pada tahun 1976, Konferensi Pemukiman Manusia PBB mencatat perlunya perhatian khusus pada “pelaksanaan operasi-operasi pembersihan besar haruslah saat konservasi dan rehabilitasi tidak memungkinkan dan ukuran-ukuran relokasi telah ditentukan”. Pada tahun 1988, dalam Strategi Global Pemukiman tahun 2000, yang disahkan oleh Majelis Umum dalam resolusi 43/181, “kewajiban fundamental (pemerintah) untuk melindungi dan mengembangkan kawasan pemukiman dan lingkungan sekitarnya, bukannya merusak atau menghancurkannya” diakui. Agenda 21 menyatakan bahwa “setiap orang harus dilindungi oleh hukum dari pengusiran-paksa dari rumah atau tanah mereka.” Dalam Agenda Pemukiman, pemerintah-pemerintah menyatakan-diri “melindungi semua orang dari, dan memberikan perlindungan dan pemulihan oleh hukum dari pengusiran-paksa yang bertentangan dengan hukum, menjadikan hak asasi manusia pertimbangan; (dan) jika pengusiran itu tidak dapat dihindarkan, memastikan dengan cermat bahwa solusi-solusi alternatif yang sesuai sudah disediakan.” Komisi Hak Asasi Manusia juga telah mengindikasikan bahwa “pengusiran-paksa adalah sebuah pelanggaran berat hak asasi manusia.”

Merupakan hal yang wajar jika penggusuran paksa dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia karena di dalam hak atas perumahan terhadap berbagai hak lain yang terkait, sehingga harkat dan martabat sebagai seorang manusia dapat hilang dengan penggusuran paksa. Meskipun demikian di Indonesia penggusuran paksa belumlah dianggap sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia. Hal tersebut karena Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pada Pasal 7 hanya mengkategorikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berupa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

5. Penggusuran dalam Keadaan Luar Biasa

Komite PBB untuk Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah mengatakan bahwa pengusiran “hanya dapat dibenarkan di dalam keadaan yang luar biasa, dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang terkait”. Bahkan dalam “keadaan yang luar biasa” di mana pengusiran paksa dapat dilakukan tanpa melanggar hukum internasional, ada beberapa persyaratan tentang tata cara yang harus diikuti:

• Pertama, pemerintah harus memastikan bahwa sebelum ada pengusiran – terutama yang melibatkan banyak orang – bahwa semua kemungkinan lain telah dijelajahi dengan melakukan perundingan dengan orang-orang yang terkena pengusiran, dengan pandangan untuk menghindari atau sedikitnya memperkecil kebutuhan untuk menggunakan kekuatan paksa.

• Kedua, pengusiran seharusnya tidak membuat seseorang menjadi tunawisma atau rentan terhadap pelanggaran hak-hak manusia lainnya. Pemerintah dengan demikian harus memastikan bahwa alternatif tempat tinggal atau lahan yang memadai harus tersedia bagi orang terkena pengusiran.

• Terakhir, di dalam kasus-kasus yang jarang terjadi di mana pengusiran paksa dianggap dapat dibenarkan, pengusiran tersebut harus dilaksanakan dengan kepatuhan yang ketat pada ketentuan-ketentuan tambahan hukum hak asasi manusia internasional terkait dan sesuai dengan prinsip-prinsip umum kewajaran dan kesebandingan (general principles of reasonableness and proportionality). Hal ini temasuk yang di bawah ini:

 1. Pemberitahuan yang wajar dan patut harus diberikan kepada semua orang yang akan diusir sebelum tanggal jadwal dari pengusiran;

 2. Informasi tentang pengusiran yang akan dilakukan, dan, jika mungkin, tentang peruntukan lain bagi lahan atau tempat tinggal itu, harus disediakan di dalam waktu yang cukup kepada semua yang terkena pengusiran;

 3. Pejabat pemerintah atau pewakilan mereka harus hadir selama pengusiran, terutama ketika banyak orang sedang diusir;

 4. Semua orang yang melakukan pengusiran harus memiliki pengenal yang jelas dan sesuai;

 5. Pengusiran tidak boleh dilakukan ketika cuaca sangat buruk atau di malam hari, kecuali para penghuni menyetujuinya;

 6. Pertolongan hukum harus diberikan bagi mereka yang memerlukannya; dan

 7. Bilamana mungkin, bantuan hukum harus disediakan bagi yang membutuhkannya supaya mereka dapat memperoleh penggantian melalui peradilan.

F. PRO DAN KONTRA PENGGUSURAN PAKSA DI JAKARTA

Maraknya penggusuran paksa di Jakarta mengundang protes berbagai kalangan, baik dari para tokoh maupun dari lembaga swadaya masyarakat. Banyak masyarakat yang menilai bahwa penggusuran yang dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta sebagai suatu perbuatan yang tidak berperikemanusiaan. Tidak kurang seorang Filosof kenamaan Franz Magnis-Suseno dalam tulisannya pada harian Kompas tanggal 8 Oktober 2003, menyatakan bahwa tindakan pemda DKI tersebut sebagai kejahatan terhadap Hak Azasi Manusia Indonesia.

Jawaban pemerintah DKI mengenai kebijakan penggusuran ini yaitu, apa yang dilakukan aparat pemda bukan penggusuran, melainkan penertiban. Penggusuran ini sebagai bentuk lain pelayanan masyarakat dan penegakan aturan hukum. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang dilematis. Penertiban itu suatu keterpaksaan demi tegaknya hukum untuk mengembalikan hak-hak orang. Selain itu banyak warga yang tinggal di lahan ilegal itu bukan penduduk Jakarta, sehingga bukan menjadi tanggung jawab pemerintah DKI. Kemudian, banyak lahan tidur yang dihuni warga itu telah berubah fungsi dan pemilik, sehingga perlu ditertibkan dan dikembalikan kepada fungsinya semula.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KESIMPULAN DAN SARAN

 

1.                 KESIMPULAN

Masalah penggusuran paksa yang dilakukan oleh pemprov DKI Jakarta ini menjadi hal serius yang menandakan ketimpangan dan ketidaksejahteraan sosial masyarakat DKI masih sangat tinggi dan mencolok. Gambaran ini tidak hanya terjadi di daerah ibu kota saja, tetapi juga terjadi di kota-kota besar lainnya. Alasan terkuat untuk mendirikan pemukiman liar karena keterbatasannya ekonomi. Di satu sisi, pemerintah berkeinginan untuk menciptakan kota yang tertib dan nyaman. Tetapi di sisi lain masyarakat menuntut hak-hak mereka untuk mendapat perumahan yang layak dipenuhi.

2.                  SARAN

Sebaiknya pemerintah membuat program berbasis bekerja di pedesaan sehingga bisa menekan angka migrasi dari desa ke kota-kota sehingga semakin menyempitnya lahan di perkotaan besar karena membludaknya orang-orang yang berbondong-bondong mengadu nasib di kota-kota besar. Selain itu jika sudah terlanjur membludak, siapkan solusi-solusi yang tidak melanggar hak-hak dari yang tergusur serta melakukan mediasi terlebih dahulu. Siapkan pemindahan ke tempat yang lebih layak seperti kalau perumahan dibuatkan rumah susun sewa (rusunawa) atau cicilan rumah yang murah yang diperuntukkan kepada keluarga-keluarga tergusur atau pemusatan lapak jualan di suatu tempat untuk para pedagang liar  dan ganti rugi yang setimpal. Dengan catatan semua tempat relokasi itu harus mendapatkan tempat yang baru dengan kriteria-kriteria layak huni, drainase yang layak, serta sistem perairan yang layak. Tingkatkan sumber daya manusia yang berpendidikan sehingga mereka bisa bersaing.

DAFTAR PUSTAKA

1.      www.sindonews.com

2.      www.metrotvnews.com

3.      www.tempo.com





 

 

 

Telusuri