WARGA
NEGARA DENGAN NEGARA
PENGGUSURAN
RUMAH DI JAKARTA
Disusun
Oleh:
Bela Kahar –
F0A014026
D3
– BAHASA INGGRIS
TAHUN
ANGKATAN 2014
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Penggusuran
rumah di Jakarta beberapa tahun belakangan sedang santer dilakukan oleh
pemeintah provinsi DKI Jakarta sebagai wujud penertiban dan penataan kota DKI
Jakarta. Sepanjang periode kepemimpinan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun
2007 – 2012, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mencatat bahwa setiap bulan
ada kurang lebih 3200 warga yang menjadi korban penggusuran paksa. Angka
tersebut bisa jadi merupakan angka penggusuran paksa tertinggi sepanjang
sejarah pemerintahan kota Jakarta. Penggusuran ini dilanjutkan kembali atau di
programkan kembali dalam program kerja pemerintahan selanjutnya hingga
sekarang.
Penggusuran
di DKI Jakarta tidak hanya dilakukan pada rumah-rumah di lahan ilegal saja, tetapi
juga mengacu kepada lahan-lahan yang tidak berizin yang digunakan sebagai
pemukiman liar oleh warga miskin atau pendatang dari luar kota yang
menggantungkan hidupnya di ibu kota Indonesia ini. Konsentrasi penggusuran atau
penertiban lahan tak berizin diantaranya di bantaran sungai, normalisasi daerah
sekitar waduk, lahan pemerintah atau BUMN, lahan sengketa, lapak jualan tak
berizin, dan lahan strategis lainnya. Pemprov mengklaim penggusuran ini
dilakukan untuk pembebasan lahan dalam upaya penataan kota dan menyerahkan hak
milik pemilik lahan yang seharusnya.
Alasan
saya mengangkat kasus penggusuran rumah di DKI Jakarta ini karena saya merasa
kasus ini tidak akan basi dan menjadi pemberitaan utama disetiap tahunnya
sepanjang pemerintah tidak menemukan solusi yang tepat dalam penyelesaian hal
pelik ini. Saya juga ingin mencari dan memaparkan berbagai pandangan dan fakta
ataupun pandangan hukum dalam kasus penggusuran rumah ini. Semoga materi ini
menjadi pandangan atau acuan berbagai pihak untuk menyadari dan menemukan
solusi kasus pelik tahunan ini.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana kronologi banyaknya bangunan
atau lahan liar untuk dijadikan tempat tinggal di Jakarta?
2.
Apa itu rumah?
3.
Bagaimana hak warga negara atas
perumahan?
4.
Bagaimana kondisi pemenuhan hak
atas rumah di Indonesia?
5.
Apa itu penggusuran paksa?
6.
Bagaimana tanggapan masyarakat mengenai penggusuran
paksa?
PEMBAHASAN
A.
KRONOLOGI
BANYAKNYA BANGUNAN LIAR DI JAKARTA
Dahulu,
negara kita sempat terkena krisi komenter yang berdampak besar ke berbagai
sektor diantaranya sektor ekonomi dan sosial yang menimbulkan chaos. Dengan adanya krisis,
perekonomian masyarakat menjadi terguncang serta banyak dari mereka kehilangan
tempat tinggal dan usahanya entah itu karena bangkrut atau terkena dampak
kerusuhan tragedi di tahun 1998. Setelah peristiwa tersebut terlewati, banyak lahan
kosong atau tidak jelas yang ditinggalkan pemiliknya. Disisi lain, pemprov DKI
Jakarta prihatin dengan kondisi masyarakat yang terlantar dan tidak mempunyai
tempat tinggal. Oleh karena itu pemprov mengeluarkan kebijakan untuk
memperbolehkan masyarakat mengisi lahan yang kosong untuk dijadikan tempat
bermukim dan mencari nafkah mereka. Awalnya niat baik ini tidak masalah sampai
akhirnya melihat fakta bahwa justru masyarakat yang mengisi lahan kosong itu
tidak mengindahkan lingkungan. Selain itu, setiap tahunnya pembludakan penduduk
yang datang dari luar Jakarta sangat signifikan dan bahkan angka tersebut terus
meningkat. Para pengadu nasib itu ada yang memiliki keahlian, tapi banyak juga
yang hanya mengandalkan keberuntungan saja bahkan cenderung nekat. Akibatnya, mereka
mencari tempat tinggal dan matapencaharian yang sembarangan supaya bisa tetap
hidup disana.
B.
MEMAKNAI
RUMAH
Rumah merupakan
bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam hidup manusia. Pada rumah
melekat dimensi budaya dan sosial sehingga makna rumah tidak dapat diartikan
secara sempit dengan tempat berlindung yang memiliki atap di atas kepala.
Sebagian masyarakat di Indonesia menganggap rumah seperti manusia yang juga
harus dihargai dan dihormati. Rumah juga dianggap sebagai tempat yang sakral
dan suci sehingga harus selalu dirawat dengan baik agar terhindar dari
malapetaka. Bung Hatta pernah menulis, “Di zaman dahulu kala, sebelum orang
putih datang kemari, bangun-bangun rumah desa memang sederhana, tapi
terpelihara. Adat hidup yang dipakai orang Indonesia serta sifat
tolong-menolong yang menjadi dasar segala usaha yang berat, melarang orang
mengabaikan rumahnya. Kalau ia hendak mendirikan rumah, ia dapat minta tolong
kepada orang banyak yang sekampung atau sedesa. Paham tradisi, yaitu ikatan
kebiasaan, tidak membiarkan orang teledor terhadap pemeliharaan rumahnya. Tanda
kehormatan manusia dilekatkan pada sopan santun bergaul, kepada pakaian dan
kepada rumah.”
C.
HAK
ATAS PERUMAHAN
1. Peraturan Perundang-Undangan dan
Instrumen HAM yang Mengatur Hak Atas Perumahan
Berbagai peraturan dan instrument hukum
menjamin hak atas perumahan seperti:
• Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 28H ayat (1), “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
• UU No. 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman
Pasal 5 ayat (1): “Negara bertanggung jawab
atas penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang pembinaannya dilaksanakan
oleh pemerintah”.
Pasal 19:
(1) Penyelenggaraan rumah dan perumahan
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar
manusia bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
(2) Penyelenggaraan rumah dan perumahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau
setiap orang untuk menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati,
dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi,
dan teratur.
Pasal 129: Dalam penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman, setiap orang berhak:
a. Menempati, menikmati, dan/atau
memiliki/memperoleh rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi,
dan teratur;
b. Melakukan pembangunan perumahan dan kawasan
permukiman;
c. Memperoleh informasi yang berkaitan dengan
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;
d. Memperoleh manfaat dari penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman;
e. Memperoleh penggantian yang layak atas
kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan perumahan
dan kawasan permukiman; dan
f. Mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan
terhadap penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang merugikan
masyarakat.
• UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM
Pasal 40: “Setiap orang berhak untuk bertempat
tinggal serta berkehidupan yang layak”.
• UU No. 11 Tahun 2005 tentang Hak
Ekonomi Sosial Budaya (Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi
Sosial Budaya)
Pasal 11 ayat (1): Negara mengakui hak setiap
orang atas standar kehidupan yang layak bagi keluarganya, termasuk cukup
pangan, sandang dan papan yang layak, dan atas perbaikan kondisi yang
berkelanjutan.
• Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi
Manusia
Pasal 25 ayat (1): “Setiap orang berhak atas
tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan
keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan
kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada
saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia
lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang
berada di luar kekuasaannya.”
• Konvensi Tentang Penghapusan
Segala Jenis Diskriminasi Terhadap Perempuan
Pasal 14 ayat (2) huruf g dan h:
Negara-negara Pihak wajib untuk melakukan
upaya-upaya yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan di
pedesaan dalam rangka memberi kepastian, berdasarkan persamaan antara laki-laki
dan perempuan, bahwa mereka turut berpartisipasi dan mendapat keuntungan dari
pembangunan desa dan terutama harus memberi kepastian bagi perempuan tersebut diantaranya
hak:
- Untuk memperoleh akses atas
pinjaman atau kredit pertanian, fasilitas pemasaran, teknologi yang tepat dan
perlakuan yang sama dalam masalah pertanahan pertanian, demikian pula
perumahan.
- Untuk menikmati keadaan kehidupan yang
layak, terutama yang berhubungan dengan perumahan, sanitasi, pengadaan listrik
dan air, angkutan dan komunikasi.
Ketentuan Lain:
• General Comment No. 4 tentang Hak
atas Tempat Tinggal yang Layak (Pasal 11 ayat (1)) Pasal 1 menegaskan bahwa
“hak asasi atas tempat tinggal yang layak, yang bersumber dari hak atas
kehidupan yang layak, adalah yang utama terpenting untuk penikmatan hak-hak
ekonomi, social, dan budaya”.
• General comment No. 7 (1997)
tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak: Pengusiran Paksa: Pasal 16
menegaskan “Pengusiran tidak boleh menjadikan individu-individu tidak berumah
atau rawan terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia lainnya. Dimana
orang-orang terimbas tidak mampu menyediakan berbagai kebutuhan mereka sendiri,
negara harus menyediakan segala ukuran yang tepat, untuk memaksimalkan sumber
daya tersedia, untuk memastikan bahwa perumahan, pemukiman, atau akses
alternatif atas tanah yang produktif, tergatung kasusnya, tersedia.”
2. Makna Hak Atas Perumahan
Setelah melihat berbagai instrument di atas,
maka kita dapat memaknai bahwa hak atas perumahan hak yang melekat pada diri
setiap orang untuk mendapatkan rumah/tempat tinggal dan hidup di suatu tempat
dengan aman, damai dan bermartabat. Hak atas perumahan merupakan hak yang utama
dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya. Hal tersebut dikarenakan
didalam hak atas perumahan tersebut juga menyangkut hak-hak lainnya, seperti
hak untuk hidup, hak untuk hidup tentram, aman, damai, bahagia dan sejahtera,
hak atas lingkungan hidup yang baik, hak atas identitas yang berkaitan dengan
hak atas pelayanan kesehatan dan juga hak atas jaminan sosial serta hak-hak
lainnya. Jika hak atas perumahan dilanggar, maka ada banyak hak lain juga yang
terancam dilanggar.
3. Tanggung Jawab Negara
Negara memiliki empat kewajiban penting
terkait dengan hak atas tempat tinggal:
·
Tugas non-diskriminasi berarti
memperlakukan setiap orang setara di hadapan hukum dan di dalam praktek. Hukum
dan kebijakan pemerintah tidak boleh membeda-bedakan seseorang dengan orang
yang lain atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, umur, bahasa, agama,
pendapat politik, dan lain-lain, suku bangsa atau daerah, kekayaan, kelahiran,
cacat fisik atau mental, kondisi kesehatan (termasuk infeksi HIV/AIDS),
orientasi seksual, atau status kependudukan, politik, sosial atau yang lainnya.
·
Tugas untuk menghormati artinya menahan
diri untuk menganggu akses masyarakat yang sudah ada terhadap tempat tinggal.
Satu cara yang jelas dalam menghormati hak atas tempat tinggal adalah tidak
melakukan pengusiran paksa.
·
Tugas untuk melindungi artinya
pemerintah harus melindungi orang-orang dari pelanggaran yang dilakukan oleh
orang-orang lainnya, seperti perusahaan dan tuan tanah. Contohnya, membiarkan
perusahaan mencemari sumber air bersih yang digunakan untuk minum adalah
pelanggaran hak atas tempat tinggal dan hak atas air. Pemerintah juga harus
melindungi maryarakat dari pengusiran paksa.
·
Tugas untuk memenuhi artinya mengambil
langkah-langkah untuk memastikan bahwa setiap orang akan mewujudkan hak mereka
atas tempat tinggal yang memadai secara bertahap. Langkah pertama harus
termasuk menysusun rencana tindakan secara nasional dan lokal dengan
keterlibatan penuh dari penduduk setempat, termasuk wanita dan mereka yang
tinggal di pemukiman liar. Dalam jangka waktu yang cukup, harus ada kemajuan
terukur dalam meningkatkan akses terhadap tempat tinggal.
4. Rumah Layak
Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya PBB mengeluarkan General Comment No. 4 (1997) tentang Hak atas Tempat
Tinggal yang Layak. Dalam General Comment tersebut dikatakan bahwa rumah atau
tempat tinggal yang layak haruslah mengandung tujuh unsur sebagai berikut:
ü Jaminan
perlindungan hukum
Perlindungan hukum mengambil banyak bentuk,
diantaranya penyewaan akomodasi (publik dan swasta), perumahan kolektif,
kredit, perumahan darurat, pemukiman informal, termasuk penguasaan tanah dan properti.
Meskipun ada beragam jenis perlindungan hukum, setiap orang harus memiliki
tingkat perlindungan hukum yang menjamin perlindungan hukum dari pengusiran
paksa, pelecehan, dan ancaman lainnya. Negara harus bertanggung jawab, segera
mengambil tindakan-tindakan yang bertujuan memberikan jaminan perlindungan
hukum terhadap orang-orang tersebut dan rumah tangga yang saat ini belum
memiliki perlindungan, melalui konsultasi secara benar dengan orang-orang atau
kelompok yang terkena.
ü Ketersediaan
layanan, bahan-bahan baku, fasilitas, dan infrastruktur
Rumah yang layak harus memiliki fasilitas
tertentu yang penting bagi kesehatan, keamanan, kenyamanan, dan nutrisi. Semua
penerima manfaat dari hak atas tempat tinggal yang layak harus memiliki akses
yang berkelanjutan terhadap sumber daya alam dan publik, air minum yang aman,
energi untuk memasak, suhu dan cahaya, alat-alat untuk menyimpan makanan,
pembuangan sampah, saluran air, layanan darurat.
ü Keterjangkauan
Biaya
yang dikeluarkan seseorang / rumah tangga untuk kebutuhan perumahan hendaknya
berada pada tingkat yang tidak mengancam dan selaras dengan pencapaian dan
pemenuhan kebutuhan dasar lainnya. Tindakan harus diambil oleh Negara Pihak
untuk memastikan bahwa persentasi biaya yang berhubungan dengan tempat tinggal,
secara umum sepadan dengan tingkat pendapatan. Negara Pihak harus menyediakan
subsidi untuk tempat tinggal bagi mereka yang tidak mampu memiliki tempat
tinggal, dalam bentuk dan tingkat kredit perumahan yang secara layak
mencerminkan kebutuhan tempat tinggal. Dalam kaitannya dengan prinsip
keterjangkauan, penghuni harus dilindungi dengan perlengkapan yang layak ketika
berhadapan dengan tingkat sewa yang tidak masuk akal atau kenaikan uang sewa.
Di masyarakat, dimana bahan-bahan baku alam merupakan sumber daya utama bahan
baku pembuatan rumah, Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah untuk
memastikan ketersediaan bahan baku tersebut.
ü Layak
huni
Tempat tinggal yang memadai haruslah layak
dihuni, artinya dapat menyediakan ruang yang cukup bagi penghuninya dan dapat
melindungi mereka dari cuaca dingin, lembab, panas, hujan, angin, atau
ancaman-ancaman bagi kesehatan, bahaya fisik bangunan, dan faktor penyakit.
Keamanan fisik penghuni harus pula terjamin. Komite mendorong Negara Pihak untuk
secara menyeluruh menerapkan Prinsip Rumah Sehat yang disusun oleh WHO yang
menggolongkan tempat tinggal sebagai faktor lingkungan yang paling sering
dikaitkan dengan kondisi-kondisi penyebab penyakit berdasarkan berbagai
analisis epidemiologi; yaitu, tempat tinggal dan kondisi kehidupan yang tidak
layak dan kurang sempurna selalu berkaitan dengan tingginya tingkat kematian
dan ketidaksehatan.
ü Aksesibilitas
Tempat tinggal yang layak harus dapat diakses
oleh semua orang yang berhak atasnya. Kelompok-kelompok yang kurang beruntung
seperti halnya manula, anak-anak, penderita cacat fisik, penderita sakit
stadium akhir, penderita HIV-positif, penderita sakit menahun, penderita cacat
mental, korban bencana alam, penghuni kawasan rawan bencana, dan lain-lain harus
diyakinkan mengenai standar prioritas untuk lingkungan tempat tinggal mereka.
ü Lokasi
Tempat
tinggal yang layak harus berada di lokasi yang terbuka terhadap akses
pekerjaan, pelayanan kesehatan, sekolah, pusat kesehatan anak, dan
fasilitas-fasilitas umum lainnya. Di samping itu, rumah hendaknya tidak
didirikan di lokasi-lokasi yang telah atau atau akan segera terpolusi, yang
mengancam hak untuk hidup sehat para penghuninya.
ü Kelayakan
budaya
Cara rumah didirikan, bahan baku bangunan yang
digunakan, dan kebijakan-kebijakan yang mendukung kedua unsur tersebut harus
memungkinkan pernyataan identitas budaya dan keragaman tempat tinggal. Berbagai
aktivitas yang ditujukan bagi peningkatan dan modernisasi dalam lingkungan
tempat tinggal harus dapat memastikan bahwa dimensi-dimensi budaya dari tempat
tinggal tidak dikorbankan, dan bahwa, diantaranya, fasilitas-fasilitas
berteknologi modern, juga telah dilengkapkan dengan semestinya.
ü Hak
Atas Kota
Dalam
hal kolektif dimana terdapat penggusuran paksa dan penyingkiran masyarakat
marjinal, maka berbicara berbicara hak atas perumahan tidak dapat dilepaskan
juga dari hak atas kota. Hak atas kota merupakan salah satu bentuk hak kolektif
yang melampaui hak-hak individu yang tercantum dalam Hak Asasi Manusia. David Harvey
mengatakan bahwa Hak Atas kota ini jauh lebih luas daripada kebebasan individu
untuk mengakses sumber daya perkotaan, hak atas kota adalah hak kolektif untuk
mengubah diri kita sendiri dengan mengubah kota. Kota seperti apa yang kita
inginkan, apa jenis hubungan sosial yang kita cari, apa hubungan dengan alam
yang kita hargai, apa gaya hidup yang kita inginkan, apa jenis teknologi yang
dianggap sesuai, apa estetika nilai-nilai yang dipegang.
D.
KONDISI
PEMENUHAN HAK ATAS PERUMAHAN DI INDONESIA
Dalam prakteknya,
pemenuhan hak atas perumahan masih jauh dari yang diharapkan karena berbagai
kendala yang dihadapinya. Dalam perkembangan sepuluh tahun terakhir, dari
penambahan sekitar 12 juta unit rumah (1,2 juta unit pertahun), pemerintah
hanya mampu membangun (menyediakan) sekitar 200.000 unit saja, baik yang
dibangun oleh Perumnas maupun untuk keperluan rumah dinas pegawai pemerintah.
Selebihnya swasta membangun 2 juta unit dan masyarakat sendiri 9,8 juta unit.
Artinya dalam satu dekade berjalan pemerintah hanya mampu menyediakan rumah
untuk rakyat sekitar 1 persen, serta memfasilitasi lewat pengembang swasta 14
persen dan masyarakat membangun sendiri 85 persen.
Data
di atas mengenai masyakarat membangun sendiri 85% perumahan janganlah dianggap
sebagai pembangunan perumahan yang layak, 85% tersebut termasuk rumah-rumah
yang sangat sederhana dan juga gubuk-gubuk yang dibuat oleh masyarakat miskin
kota yang tidak sanggup untuk membuat rumah yang layak karena penghasilan yang
rendah (rata-rata kurang dari 1juta perbulannya).
E. PENGGUSURAN PAKSA
1.
Pengertian Penggusuran Paksa
Kita dapat mendefenisikan penggusuran paksa
sebagai tindakan yang memindahkan atau mengusir seseorang atau sekelompok dari
tempat tinggal atau lahannya yang bertentangan dengan keinginan mereka sendiri
dan tanpa memberikan perlindungan yang sesuai.
2. Penyebab Penggusuran Paksa
Adapun konflik perumahan ataupun penggusuran
disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
Ø Konsentrasi
penguasaan asset berupa tanah atau rumah oleh pemilik modal/penguasa atau
pemberian hak kepada segelintir orang
Kita dapat melihat bahwa di satu sisi terdapat
banyak orang yang memiliki tanah yang luas dan rumah yang tidak hanya dijadikan
sebagai tempat tinggal, namun juga dijadikan instrument investasi. Pembangunan
perumahan justru dikuasai oleh taipan-taipan property yang menyediakan
perumahan untuk menengah ke atas. Perumnas tidak bisa memenuhi kebutuhan atas
perumahan bagi masyarakat miskin. Akhirnya di sisi lain lebih dari 13 juta
orang tidak memiliki rumah di Indonesia.
Ø Penataan
ruang, seperti perubahan/alih fungsi ruang
Adanya
politik ruang yang akhirnya menyingkirkan masyarakat, terutama masyarakat
rentan atau miskin. Ruang kota lebih diutamakan untuk pembangunan jalan TOL,
ruang terbuka hijau, daerah industry, pusat perbelanjaan, maupun perumahan
elit. Masyarakat yang tidak mampu akan tinggal di daerah kumuh, daerah
terlarang, ataupun tinggal di pinggiran kota yang jauh dari tempat bekerja dan
membutuhkan waktu lama untuk perjalanan.
Ø Ketertiban
dan keindahan
Dengan alasan ketertiban dan keindahan, banyak
terjadi penggusuran paksa yang dilegalisasi oleh berbegai peraturan
perundang-undangan. Misalnya saja Perda No. 8 Tahun 2007 yang merupakan revisi
dari Perda 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di DKI Jakarta. Banyak warga
miskin yang terpaksa membangun rumah di lahan terlantar, lahan hijau, bantaran
kali, kolong jembatan, kolong tol, dan tempat yang dilarang lainnya karena
tidak dipenuhi hak atas perumahannya oleh pemerintah. Berdasarkan Perda No. 8
Tahun 2007 tersebut, mereka diancam dengan pidana penjara minimal 30 hari
maksimal 180 hari karena menyalahgunakan fungsi jalur hijau, taman dan
tempat-tepat umum (Pasal 12 ayat d) atau dilarang membangun dan bertempat
tinggal di bawah jalan layang, di bawah tol, jalur hijau, taman dan tempat umum
(pasal 20 d).
Ø Penggunaan
untuk kepentingan umum
Penggunaan tanah untuk kepentingan umum sering
menjadi alasan pemerintah untuk menggusur warga. Namun seringkali hal tersebut
hanyalah sebagai strategi untuk melanggengkan kepentingan yang lain. Misalnya
penggusuran warga Rawa Sari dengan alasan untuk membangun ruang terbuka hijau,
saat ini justru lahan tersebut dijadikan apartemen. Contoh lain penggusuran
warga Taman BMW dengan alasan ruang terbuka hijau pada tahun 2008, hingga saat
ini belum ada pembangunan apapun di lahan tersebut dan justru direncanakan
untuk membangun stadion berkelas internasional.
Saat ini pemerintah dan DPR telah membuat
Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Lahan untuk Kepentingan Umum
dan Pembangunan. Undang-undang tersebut mempercepat pengadaan lahan dan juga
mempercepat penggusuran terkait kepentingan umum.
Ø Penelantaran
Tanah
Badan
Pertanahan Nasional mencatat terdapat 7 juta hektar lahan yang diterlantarkan
di Indonesia. Luas tersebut belum termasuk lahan-lahan terlantar yang dimiliki
oleh pribadi-pribadi dalam jumlah kurang dari 5 hektar. Akhirnya lahan untuk
dijadikan perumahan semakin mahal karena jumlahnya berkurang. Pemerintah telah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar, namun tidak dilaksanakan dengan tegas. Melihat
banyaknya tanah yang diterlantarkan tentunya wajar jika banyak masyarakat
kemudian menduduki lahan untuk dibangun rumah yang merupakan kebutuhan
asasinya.
Ø Pemerintah
Tidak Konsisten Menjalankan Undang-Undang Pokok Agraria
Ketidakkonsistenan
terlihat dalam beberapa contoh seperti adanya ketentuan Pasal 15 UUPA yang
berbunyi: “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah
kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang
mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang
ekonomis lemah.” Pada Pasal 52 UUPA tersebut dikatakan “Barangsiapa dengan
sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 15 dipidana dengan hukuman kurungan
selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,-“
Seharusnya jika ketentuan tersebut dilaksanakan, maka penelantaran tanah bisa
dikenakan pidana.
Selain itu Berdasarkan Pasal 6 UU No. 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang menegaskan bahwa “Semua
hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Maka tanah seharusnya diperuntukkan
bagi kepentingan sosial atau kepentingan masyarakat banyak. Lebih-lebih
Penjelasan Pasal tersebut bahwa “Tidak hanya hak milik tetapi semua hak atas
tanah mempunyai fungsi sosial”. Ini berarti bahwa tidak hanya kepemilikan yang
diprioritaskan untuk masyarakat tetapi fungsi tanah tersebut juga
diprioritaskan untuk masyarakat. Selanjutnya, huruf II angka (4) Penjelasan UU
Pokok Agraria menjelaskan:
“Ini
berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat
dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan)
semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan
kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya
dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan
kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara. Berhubung
dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya bahwa tanah itu
harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah
kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada
pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula
dari setiap orang, badanhukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum
dengan tanah itu (pasal 15). Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan
kepentingan fihak yang ekonomis lemah.”
3.
Akibat Penggusuran Paksa
Penggusuran
paksa memiliki akibat yang sangat luas seperti menyebabkan orang menjadi
tunawisma, hilangnya rasa aman, terisolasi dari komunitas dan keluarga,
hilangnya hak untuk jaminan sosial, hilangnya hak atas identitas, hilangnya hak
untuk akses kesehatan, hilangnya hak anak untuk mengenyam pendidikan karena
mahalnya biaya pindah rumah, kerugian ekonomi, meteri dan juga kerugian
psikologis berupa trauma yang sangat mendalam. Bahkan, dalam beberapa kasus
menyebabkan hilangnya nyawa orang.
4.
Penggusuran Paksa Adalah Pelanggaran HAM Berat
Komunitas
internasional telah lama mengakui bahwa pengusiran-paksa adalah persoalan yang
serius. Pada tahun 1976, Konferensi Pemukiman Manusia PBB mencatat perlunya
perhatian khusus pada “pelaksanaan operasi-operasi pembersihan besar haruslah
saat konservasi dan rehabilitasi tidak memungkinkan dan ukuran-ukuran relokasi
telah ditentukan”. Pada tahun 1988, dalam Strategi Global Pemukiman tahun 2000,
yang disahkan oleh Majelis Umum dalam resolusi 43/181, “kewajiban fundamental
(pemerintah) untuk melindungi dan mengembangkan kawasan pemukiman dan
lingkungan sekitarnya, bukannya merusak atau menghancurkannya” diakui. Agenda
21 menyatakan bahwa “setiap orang harus dilindungi oleh hukum dari
pengusiran-paksa dari rumah atau tanah mereka.” Dalam Agenda Pemukiman, pemerintah-pemerintah
menyatakan-diri “melindungi semua orang dari, dan memberikan perlindungan dan
pemulihan oleh hukum dari pengusiran-paksa yang bertentangan dengan hukum,
menjadikan hak asasi manusia pertimbangan; (dan) jika pengusiran itu tidak
dapat dihindarkan, memastikan dengan cermat bahwa solusi-solusi alternatif yang
sesuai sudah disediakan.” Komisi Hak Asasi Manusia juga telah mengindikasikan
bahwa “pengusiran-paksa adalah sebuah pelanggaran berat hak asasi manusia.”
Merupakan
hal yang wajar jika penggusuran paksa dianggap sebagai pelanggaran berat
terhadap hak asasi manusia karena di dalam hak atas perumahan terhadap berbagai
hak lain yang terkait, sehingga harkat dan martabat sebagai seorang manusia
dapat hilang dengan penggusuran paksa. Meskipun demikian di Indonesia
penggusuran paksa belumlah dianggap sebagai pelanggaran berat hak asasi
manusia. Hal tersebut karena Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM pada Pasal 7 hanya mengkategorikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat
berupa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
5.
Penggusuran dalam Keadaan Luar Biasa
Komite
PBB untuk Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah mengatakan bahwa pengusiran
“hanya dapat dibenarkan di dalam keadaan yang luar biasa, dan sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum internasional yang terkait”. Bahkan dalam “keadaan yang
luar biasa” di mana pengusiran paksa dapat dilakukan tanpa melanggar hukum
internasional, ada beberapa persyaratan tentang tata cara yang harus diikuti:
•
Pertama, pemerintah harus memastikan bahwa sebelum ada pengusiran – terutama
yang melibatkan banyak orang – bahwa semua kemungkinan lain telah dijelajahi
dengan melakukan perundingan dengan orang-orang yang terkena pengusiran, dengan
pandangan untuk menghindari atau sedikitnya memperkecil kebutuhan untuk
menggunakan kekuatan paksa.
•
Kedua, pengusiran seharusnya tidak membuat seseorang menjadi tunawisma atau
rentan terhadap pelanggaran hak-hak manusia lainnya. Pemerintah dengan demikian
harus memastikan bahwa alternatif tempat tinggal atau lahan yang memadai harus
tersedia bagi orang terkena pengusiran.
•
Terakhir, di dalam kasus-kasus yang jarang terjadi di mana pengusiran paksa
dianggap dapat dibenarkan, pengusiran tersebut harus dilaksanakan dengan
kepatuhan yang ketat pada ketentuan-ketentuan tambahan hukum hak asasi manusia
internasional terkait dan sesuai dengan prinsip-prinsip umum kewajaran dan
kesebandingan (general principles of reasonableness and proportionality). Hal
ini temasuk yang di bawah ini:
1. Pemberitahuan yang wajar dan patut harus
diberikan kepada semua orang yang akan diusir sebelum tanggal jadwal dari
pengusiran;
2. Informasi tentang pengusiran yang akan
dilakukan, dan, jika mungkin, tentang peruntukan lain bagi lahan atau tempat
tinggal itu, harus disediakan di dalam waktu yang cukup kepada semua yang
terkena pengusiran;
3. Pejabat pemerintah atau pewakilan mereka
harus hadir selama pengusiran, terutama ketika banyak orang sedang diusir;
4. Semua orang yang melakukan pengusiran harus
memiliki pengenal yang jelas dan sesuai;
5. Pengusiran tidak boleh dilakukan ketika
cuaca sangat buruk atau di malam hari, kecuali para penghuni menyetujuinya;
6. Pertolongan hukum harus diberikan bagi
mereka yang memerlukannya; dan
7. Bilamana mungkin, bantuan hukum harus
disediakan bagi yang membutuhkannya supaya mereka dapat memperoleh penggantian
melalui peradilan.
F. PRO DAN KONTRA PENGGUSURAN PAKSA
DI JAKARTA
Maraknya
penggusuran paksa di Jakarta mengundang protes berbagai kalangan, baik dari
para tokoh maupun dari lembaga swadaya masyarakat. Banyak masyarakat yang
menilai bahwa penggusuran yang dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta sebagai suatu
perbuatan yang tidak berperikemanusiaan. Tidak kurang seorang Filosof kenamaan
Franz Magnis-Suseno dalam tulisannya pada harian Kompas tanggal 8 Oktober 2003,
menyatakan bahwa tindakan pemda DKI tersebut sebagai kejahatan terhadap Hak
Azasi Manusia Indonesia.
Jawaban
pemerintah DKI mengenai kebijakan penggusuran ini yaitu, apa yang dilakukan
aparat pemda bukan penggusuran, melainkan penertiban. Penggusuran ini sebagai
bentuk lain pelayanan masyarakat dan penegakan aturan hukum. Peristiwa tersebut
merupakan peristiwa yang dilematis. Penertiban itu suatu keterpaksaan demi
tegaknya hukum untuk mengembalikan hak-hak orang. Selain itu banyak warga yang
tinggal di lahan ilegal itu bukan penduduk Jakarta, sehingga bukan menjadi
tanggung jawab pemerintah DKI. Kemudian, banyak lahan tidur yang dihuni warga
itu telah berubah fungsi dan pemilik, sehingga perlu ditertibkan dan
dikembalikan kepada fungsinya semula.
KESIMPULAN
DAN SARAN
1.
KESIMPULAN
Masalah
penggusuran paksa yang dilakukan oleh pemprov DKI Jakarta ini menjadi hal
serius yang menandakan ketimpangan dan ketidaksejahteraan sosial masyarakat DKI
masih sangat tinggi dan mencolok. Gambaran ini tidak hanya terjadi di daerah
ibu kota saja, tetapi juga terjadi di kota-kota besar lainnya. Alasan terkuat
untuk mendirikan pemukiman liar karena keterbatasannya ekonomi. Di satu sisi,
pemerintah berkeinginan untuk menciptakan kota yang tertib dan nyaman. Tetapi
di sisi lain masyarakat menuntut hak-hak mereka untuk mendapat perumahan yang
layak dipenuhi.
2.
SARAN
Sebaiknya
pemerintah membuat program berbasis bekerja di pedesaan sehingga bisa menekan angka
migrasi dari desa ke kota-kota sehingga semakin menyempitnya lahan di perkotaan
besar karena membludaknya orang-orang yang berbondong-bondong mengadu nasib di
kota-kota besar. Selain itu jika sudah terlanjur membludak, siapkan
solusi-solusi yang tidak melanggar hak-hak dari yang tergusur serta melakukan
mediasi terlebih dahulu. Siapkan pemindahan ke tempat yang lebih layak seperti
kalau perumahan dibuatkan rumah susun sewa (rusunawa) atau cicilan rumah yang
murah yang diperuntukkan kepada keluarga-keluarga tergusur atau pemusatan lapak
jualan di suatu tempat untuk para pedagang liar
dan ganti rugi yang setimpal. Dengan catatan semua tempat relokasi itu
harus mendapatkan tempat yang baru dengan kriteria-kriteria layak huni,
drainase yang layak, serta sistem perairan yang layak. Tingkatkan sumber daya
manusia yang berpendidikan sehingga mereka bisa bersaing.
DAFTAR PUSTAKA