Kesultanan Cirebon
Sejarah
Menurut Sulendraningrat
yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban
Nagari, Cirebon pada awalnya
adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan
berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam
suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang
berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata
pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan
menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan
terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang)
dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:,
air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.[1]
Dengan dukungan
pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian
menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir
utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan
bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat
penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Perkembangan awal
Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa
(atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang saudagar
kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan
membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358
(tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para
pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.
Ki Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat
oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi
atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi
dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari
Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga
bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua,
dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)
Pangeran Cakrabuana (…. –1479)
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera
pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama
SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang,
setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara
seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.
Sebagai anak
sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan
Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan
oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama
mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu
dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki
Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya
Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak
meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan
membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai
pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran
Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut
Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang
memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada
penduduk Cirebon.
Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra
adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif
Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana
Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun
Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman
Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini
sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.[2]
Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan
pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang
selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah
Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi
menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon
hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua
tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam
Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.
Panembahan Ratu I (1570-1649)
Sepeninggal
Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta
kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua
Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian
bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.
Panembahan Ratu II (1649-1677)
Setelah
Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan
Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran
Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan
Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama
gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal
pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan
Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan,
yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab
Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua
Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak
sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng
Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini
memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya
Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan
Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram.
Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram
di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun
Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan
Agung di Imogiri.
Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Dengan kematian
Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Pangeran Wangsakerta
yang bertanggung jawab atas pemerintahan di Cirebon selama ayahnya tidak berada
di tempat,khawatir atas nasib kedua kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk
meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas
dalam Perang Pagarage), beliau mengiyakan permohonan tersebut karena melihat
peluang untuk memperbaiki hubungan diplomatic Banten-Cirebon. Dengan bantuan
Pemberontak Trunojoyo yang disupport oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran
tersebut berhasil diselamatkan. Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat
ada keuntungan lain dari bantuannya pada kerabatnya di Cirebon itu, maka ia
mengangkat kedua Pangeran yang ia selamatkan sebagai Sultan,Pangeran
Mertawijaya sebagai Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan
Kanoman,sedangkan Pangeran Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10 tahun
lebih hanya diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk
mencegah agar Cirebon tidak beraliansi lagi dengan Mataram.
Perpecahan I
(1677)
Pembagian
pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa
penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan
Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi
keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing
berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa
Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
- Sultan
Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil
Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
- Sultan
Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi
Muhammad Badrudin (1677-1723)
- Pangeran
Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil
Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar
dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini
dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di
ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh,
rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi
sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau
keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron),
yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di
Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana
seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari
permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa,
maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.
Perpecahan II (1807)
Suksesi para
sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan
Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang
putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun
kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak
Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan
keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan
tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak
atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon
bertambah satu penguasa lagi, yaitu KesultananKacirebonan, pecahan dari
Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan
Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).
PENYEBARAN ISLAM DI KERAJAAN CIREBON
- Sejarah Kerajaan Cirebon
Kerajaan Cirebon merupakan
bagian dari administratif Jawa Barat. Cirebon sendiri mempunyai arti seperti di
daerah-daerah lainnya. Cirebon berasal dari bahasa sunda “ci” yang berarti air,
sedangkan “rebon” berarti udang. Cirebon mempunyai ati sungai udang atau kota
udang. Cirebon didirikan pada 1 Sura 1445 M, oleh Pangeran Cakrabuana. Pada
tahun 1479 M Pangeran Cakrabuana sebagai penguasa Cirebon yang bertempat di
kraton Pakungwati Cirebon menyerahkan kekuasaannya pada Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati adalah seorang menantu Pangeran Cakrabuana dari ibu Ratu Mas
Rara sasantang. Sejak inilah Cirebon menjadi negara merdeka dan bercorak Islam.
Sebelum berdirinya kekuasaan politik
Islam di bawah kekuasaan Sunan Gunung Jati wilayah Cirebon dibagi menjadi dua
daerah, pesisir dan pedalaman. Daerah pesisir dipimpin oleh Ki Gendeng Jumajan
Jati, sedangkan wilayah pedalaman dipimpin oleh Ki Gendeng Kasmaya. Keduanya
adalah saudara Prabu Anggalarung dari Galuh. Sunan Gunung Jati kemudian menikah
dengan Ratu Mas Pakungwati dari Cirebon pada tahun 1479 dan pada tahun itu juga
di bangun Istana Pakungwati atau keraton Kasepuhan
Putra Sunan Gunung Jati yaitu
Pangeran Pasarean pada tahun 1528 diangkut sebagai pemangku kekuasaan di
Cirebon. Sebelum sempat menggantikan ayahnya, Pangeran Pasarean wafat pada
tahun 1552. Sunan Gunung Jati kemudian mengangkat Aria Kemuning menjadi sultan
Cirebon. Aria Kemuning adalah anak angkat dari Sunan Gunung Jati. Aria Kemuning
atau julukannya Dipati Carbon 1 menjabat sebagai sultan Cirebon kurang lebih 12
tahun, yaitu sejak 1553-1565.
Berkembangnya Ajaran Islam di
Kerajaan Cirebon
- Perkembangan Islam pada Masa
Syekh Idlofi Mahdi
Menurut
Tome Pires, seorang musyafir dari negeri Portugis pendapat Islam masuk pada
Kerajaan Cirebon pada tahun 1470-1475. pada tahun 1420 M, datang serombongan
pedagang dari Baghdad yang dipimpin oleh Syekh Idlofi Mahdi, ia tinggal di
dalam perkampunganMuara Jati dengan alasan untuk memperlancar barang dagangannya.
Syekh Idlofi Mahdi memulai kegiatannya selain berdagang dia juga berdakwah
dengan mengajak penduduk serta teman-temannya untuk mengenal serta memahami
ajaran Islam. Pusat penyebarannya brada di Gunung Jati. Syekh Idlofi Mahdi
menyebarkan agama Islam dengan cara bijaksana dan penuh hikmah.
Sebelum
masuknya Islam ke pulau jawa pada umumnya dan kerajaan Cirebon khususnya,
situasi masyarakat di pengaruhi sistem kasta pada ajaran agama Hindu kehidupan
masyarakatnya jadi bertingkat-tingkat. Mereka yang mempunyai kasta lebih tinggi
tidak dapat bergaul dengan dengan kasta yang lebih rendah atau pergaulan
diantara mereka dibatasi. Setelah ajaran Islam disebarkan oleh Syekh
Idlofi Mahdi, susunan masyarakat berdasarkan kasta ini mulai terkikis dan
dimulailah kehidupan masyarakat tanpa adanya perbedaan kasta
b. Perkembangan Islam pada masa Sunan Gunung Jati atau Syarif
Hidayatullah.
Menurut
semua sejarah lokal dari Cirebon termasuk cerita Purwaka Caruban Nagari,
masuknya Islam di Cirebon pada abad 15 yaitu pada tahun 1470. disebarkan oleh
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah. Penyebaran agama Islam itu dimulai
ketika Syarif Hidayatullah berusia 27 tahun yaitu dengan menjadi mubaliqh
Cirebon. Di tahun 1479 Syarif Hidayatullah menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati,
putre dari pangeran Cakrabuana. Pengganti pangeran Cakrabuana sebagai penguasa
Cirebon di berikan pada Syarif Hidayatullah. Pada tahun pengangkatannya Syarif
Hidayatullah mengembangkan daerah penyebarannya di wilayah Pajajaran.
Syarif
Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke daerah Serang yang
sebagian rakyatnya sudah mendengar tentang Islam dari pedagang-pedagang dari
Arab dan Gujarat yang berlabuh di pelabuhan Banten. Syarif Hidayatullah
mendapat sambutan hangat dari adipati Banten. Daerah-daerah yang telah
diislamkan antara lain : Kuningan, Sindangkasih, Telaga, Luragung, Ukur,
Cibalagung, Kluntung, Bantar, Indralaya, Batulayang, dan Timbangaten. Di
wilayah Pejajaran Agama Islam berkembang pesat di negeri Caruban yang dipimpin
oleh Syarif Hidayatullah. Demak kemudian menjalin persahabatan dengan Syarif
Hidayatullah. Setelah mengenal Syarif Hidayatullah Raden Patah bersama-sama
para mubaliqh yang sudah bergelar sunan menetapkan Syarif Hidayatullah sebagai
Panata Gama Rasul di tanah Pasundan. Panata Gama Rasul artinya orang yang
ditetapkan sebagai pemimpin penyiaran Agam Nabi Muhamad di tanah Jawa. Kemudian
atas kesepakatan para sunan Syarif Hidayatullah di beri gelar Sunan Gunung Jati
dan menjadi Sunan paling terakhir yaitu sunan ke-9 dari sunan 9 sunan lainnya.
Kerajaan-kerajaan
yang berhasil ditakhlukkan Sunan Gunung Jati diantaranya:
v Talaga, sebuah kerajaan yang beragam Hindu yang terletak di
sebelah barat daya Cirebon di bawah kekuasaan Prabu Kacukumun.
v Rajagaluh, bekas pusat kerajaan Pajajaran yang beragam Hindu
yang diperintah Prabu Cakraningrat. Prabu Cakraningrat tidak senang dengan
kemajuan Cirebon dan persebaran agama Islam di Cirebon di tangan Sunan Gunung
Jati. Akibatnya timbulah perang antara Cirebon dengan Rajagaluh, kemenangan
berada di tangan Cirebon. Berakhirnya kekuasaan Rajagaluh sekaligus merupakan
berakhirnya kekuasaan kerajaan Hindu di daerah Jawa Barat sebelah Timur.
Pada
tahun 1498 para Walisongo yang diprakarsai oleh Sunan Gunung Jati membangun
Masjid Agung Cirebon. Pembangunannya dipimpin oleh Sunan Kalijaga denganseorang
arsitek Raden Sepat ( dari Majapahit bersama 200 orang pembantunya dari Demak
). Masjid ini juga disebut Sang Cipta Rasa karena terlahir dari rasa dan
kepercayaan penduduk. Pada masa itu juga disebut dengan Masjid Pekungwati
karena dulu masjid itu terletak dalam komplek keraton Pekungwati dan sekarang
dalam komplek kasepuhan. Menurut cerita masjid itu dibangun dalam waktu semalam
dan besok pada waktu subuh digunakan untuk Sholat Subuh. Pada tahun 1568 Sunan
Gunung Jati meninggal pada usia yang sangat lanjut yaitu 120 tahun, dia
dimakamkan di pertamanan Gunung Jati
Cirebon
Sebagai Bandar Dagang
Letak
Cirebon yang strategis yaitu di daerah pesisir pantai Utara pulau Jawa. Cirebon
sebagai pusat pelabuhan berfungsi sebagai sumber pendapatan ekonomi dan sebagai
keluar –masuknya barang-barang kebutuhan pada masyarakat pedesaan, dengan luar
daerah, maupun dari negeri lain. Perdagangan ini melalui 2 jalur yaitu jalur
darat dan jalur laut. Jalur darat biasanya dengan alat transportasi darat
seperti dengan berkuda atau mengendarai gajah. Jalurnya dari Banyumas menuju
Tegal kemudian menuju Periangan. 3 wilayah pedalaman diandalkan sebagai
penghasil bahan-bahan pertanian seperti sayur mayur, buah-buahan, padi.
Sedangkan barang dagangan yang dibawa dari luar daerah yaitu : logam, besi,
emas, perak, sutera, dan keramik. Barang-barang tersebut biasanya berasal dari
Cina.
Dalam
transaksi perekonomian dan perdagangan Cina mempunyai peranan yang sangat besar
karena barang-barang kebutuhan masyarakat dibawa oleh pedagang-pedagang dari
Cina. Mereka memakai sistem barter yang dimaksud barter disini yaitu barter
uang dengan mempergunakan mata uang. Perdagangan Ccirebon mengalami kemunduran
karena adanya monopoli perdagangan dari kompeni Belanda pada 30 April 1632.
- Pelapisan Sosial Kerajaan
Cirebon
Masyarakat
Cirebon dibedakan berdasarkan kedudukan dan digolongkan menjadi 4 lapisan
sosial :
a) Golongan Raja yang terdiri dari raja beserta keluarganya.
Raja ditempatkan pada lapisan paling tinggi. Para raja atau sultan Cirebon
merupakan golongan ningrat yang tinggal di lingkungan kerajaan atau istana.
Raja menjalankan berbagai kebijaksanaan dan perintahnya. Hubungan antara raja,
bangsawan, dan masyarakat sangat dibatasi.
b) Golongan Elite terdiri dari para bangsawan, priyayi,
tentara, golongan Islam, dan pedagang-pedagang kaya. Patih menempati lapisan
yang paling penting karena baik raja maupun pejabat-pejabat penting lainnya
merasa tunduk dan patuh kepada keamanan sang patih
c) Golongan non Elite. Golongan ini terdiri dari lapisan
masyarakat kecil yang pada umumnya mempunyai mata pencaharian sebagai petani,
psdagang, tukang, nelayan, dan golongan masyarakat bawah. Golongan petani dan
pedagang merupakan tulang punggung bagi perekonomian kerajaan. Prajurit
mempunyai tugas cukup berat yaitu ikut dalam peperangan.
d) Golongan Budak. Golongan ini terdiri dari buruh, para budak,
dan pekerja kasar. Mereka adalah orang-orang yang bekerja berat secara fisik
menjual tenaga badaniyah atau mengerjakan pekerjaan kasar. Golongan ini tidak
hanya laki-laki saja tetapi juga wanita kadang anak-anak di bawah umur.
Walaupun budak menempati posisi paling bawah tetapi mereka dibutuhkan oleh raja
untuk melayani kepentingan-kepentingannya.
Runtunya kerajaan cirebon
§
Kerajaan Cirebon terbagi menjadi 3
kesultanan yaitu, Keraton Kasepuhan dipegang oleh Sultan Sepuh, Keraton Kanoman
dipegang oleh Sultan Anom, Keraton Karicebonan dipegang oleh Panembahan
Karicebonan. Mereka hanya mengurusi kerajaan masing-masing. Mengakibatkan
kerajaan Cirebon perlahan-lahan mulai hancur.
§
Setelah Sultan Panembahan Gerilya
wafat pada tahun 1702, terjadi perebutan kekuasaan diantara kedua putranya,
yaitu antara Pangeran Marta Wijaya dan Pangeran Wangsakerta. Di samping itu
adanya campur tangan VOC yang mengadu domba mereka membuat persaudaraan mereka
menjadi permusuhan.
Islam masuk ke Cirebon pada abad 15, ajaran Islam ini dibawa Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dan Syekh Idlofi Mahdi. Mereka menyebarkan
agama Islam dengan berdakwah dan mendirikan pondok pesantren. Sunan Gunung
Jati, mempunyai daerah penyebaran paling luas. Pada tahun 1498 Sunan Gunung
Jati membangun Masjid Agung Cirebon dan dibantu oleh kedelapan para wali. Pada
tahun 1568 Sunan Gunung Jati wafat dan beliau dimakamkan di pertamanan Gunung
Jati.
Cirebon menjadi pusat perdagangan karena letaknya di daerah pesisir utara pulau
Jawa. Perdagangan ini melalui 2 jalur yaitu jalur darat dan jalur laut.
Pedagang dari luar negara yang mendukung perekonomian di Cirebon adalah Cina
dengan barang dagangannya yaitu sutra dan keramik. Masyarakat Cirebon
dibedakan berdasarkan status sosialnya yang dibedakan menjadi 4 golongan, yaitu
golongan Raja, golongan Elite, golongan Nonelite, dan golongan Budak. Mereka
mempunyai kedudukan didalam lingkungan kerajaan.
Cirebon mulai mengalami kehancuran ketika Cirebon dibagi menjadi 3 Kesultanan,
Yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Kerato Kacirebonan. Sehingga
kerajaan Cirebon menjadi terpecah-pecah. Disamping itu adanya perebutan
kekuasaan sepeninggal Panembahan Gerilya pada tahun 1702. Adanya campur
tangan VOC dalam kerajaan yang mengadu domba mereka juga menjadi penyebab
hancurnya kerejaan Cirebon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar